Jumat, 06 November 2015

RENCANA REVISI PERDA RTRWP BALI JILID 2*

Belum lama ini panitia khusus arahan peraturan zonasi (Pansus APZ) DPRD Bali yang diketuai oleh Kadek Diana merekomendasikan untuk merevisi Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Bali. Rekomendasi ini kemudian disetujui dalam rapat paripurna DPRD Bali pada kamis (22/10) lalu. Revisi Perda RTRWP Bali bahkan dijadikan prioritas dalam agenda prolegda tahun 2016.

Memang bukan saat ini saja Perda RTRWP Bali ingin direvisi. Pada tahun 2010 juga ada pihak-pihak yang ingin merevisi Perda yang berlaku selama dua puluh tahun tersebut, bahkan saat itu sempat dibuatkan pansus. Ada tiga agenda utama yang ingin dicapai dalam revisi Perda RTRWP Bali antara lain mengubah ketinggian bangunan yang saat ini maksimal 15 meter, memperpendek jarak sempadan pantai serta menghilangkan radius kesucian pura. Ketiga aturan tersebut dianggap merugikan investasi di Bali, namun saat itu usaha merevisi Perda RTRWP Bali kandas.

Apabila dipahami dan ditaati Perda RTRWP Bali secara singkat dapat disampaikan sebagai sebuah aturan yang cukup ideal dalam menjaga kelestarian lingkungan di Bali. Perda yang berlaku sampai tahun 2029 ini dapat menjadi standar minimum dalam menjaga kelangsungan ekologi dan fungsi ekologis terkait dengan pemanfaatan ruang di Pulau Bali. Pasal Perda RTRWP Bali, secara tegas mendudukan tujuan Perda ini adalah untuk  mewujudkan ruang wilayah Provinsi Bali yang berkualitas, aman, nyaman, produktif, berjatidiri berbudaya Bali, dan berwawasan lingkungan berlandaskan Tri Hita Karana. Selain itu Perda ini sekaligus bertujuan untuk menciptakan keterpaduan pengendalian pemanfaatan ruang antara wilayah provinsi dengan wilayah kabupaten/kota dalam rangka perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan dan budaya Bali akibat pemanfaatan ruang.

Dimasukannya pengaturan terkait kawasan strategis pariwisata dalam Perda RTRWP Bali dimaksudkan agar kualitas pariwisata Bali terjaga. Hal ini dengan membatasi zonasi pariwisata, terutama pembangunan akomodasi pariwisata yang tak terkendali. Menurut riset Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata bersama Universitas Udayana tahun 2010, Bali telah mengalami kelebihan hingga 9800 kamar hotel. Kelebihan kamar tersebut mengakibatkan, walaupun setiap tahun wisatawan yang berwisata ke Bali terus bertambah, namun tingkat hunian hotel terus menurun.

Dipaksakan

Saat ini, kembali muncul usulan untuk merevisi Perda RTRWP Bali yang direkomendasikan oleh Pansus APZ. Pansus APZ beralasan Perda RTRWP Bali harus disesuaikan dengan Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan serta Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Memang revisi terhadap Perda RTRWP Bali tidaklah tabu, namun apabila salah satu alasan yang dipakai karena munculnya Perpres Nomor 51 tahun 2014 tentu akan menjadi sebuah pertanyaan besar agenda revisi Perda RTRWP Bali Jilid 2 ini kepentingan siapa?.
Apabila ditarik kebelakang terbitnya Perpres Nomor 51 tahun 2014 yang lebih layak disebut Perpres Reklamasi Teluk Benoa terkesan dipaksakan. Hal ini berdasarkan fakta bahwa Perpres reklamasi Teluk Benoa dikeluarkan oleh SBY dimasa akhir jabatannya sebagai presiden. Perpres tersebut pada intinya menghapuskan teluk benoa sebagai kawasan konservasi perairan dan diubah menjadi kawasan pemanfaatan. Perubahan tersebut mengakibatkan teluk benoa yang awalnya tidak dapat direklamasi menjadi dapat direklamasi oleh investor seluas 700 hektar.

Rencana reklamasi Teluk Benoa sendiri mengabaikan fakta-fakta bahwa rencana reklamasi Teluk Benoa tidak layak dilakukan berdasarkan aspek lingkungan, aspek teknis, aspek sosial budaya dan aspek ekonomi finansial di dalam studi kelayakan yang dilakukan oleh Universitas Udayana. Selain itu selama tiga tahun ini rencana reklamasi teluk benoa juga mendapat penolakan dari masyarakat. Masyarakat khawatir apabila reklamasi teluk benoa dipaksakan maka akan menimbulkan bencana ekologis dikemudian hari yang tentunya akan merugikan pariwisata Bali sendiri.

Dari pemaparan tersebut dapat diduga bahwa rencana revisi Perda RTRWP Bali jilid 2 ini tidak lain adalah memuluskan kepentingan investor untuk mereklamasi Teluk Benoa. Rencana revisi Perda RTRWP Bali jilid 2 ini sangat disayangkan, hal tersebut akan menjadi preseden buruk untuk penegakan Perda RTRWP Bali kedepannya. Karena setiap ada investasi besar di Bali yang tidak diakomodir oleh Perda RTRWP Bali, maka Perda RTRWP Bali yang akan direvisi.

Selain itu, hal tersebut juga dapat menimbulkan pertanyaan, kapan Perda RTRWP Bali mempunyai kepastian hukum apabila setiap ada investasi yang melanggar, aturan dalam Perda RTRW yang harus menyesuaikan?. Bukankah sudah seharusnya DPRD Bali beserta Gubernur Bali mempertahankan Perda RTRWP Bali sebagai produk hukum yang sah untuk mengatur tata ruang di Bali?.

Di tengah memanasnya pro kontra terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa saat ini, seharusnya DPRD Bali mempertanyakan legalitas penerbitan Perpres Nomor 51 Tahun 2014 yang ditemukan banyak kejanggalan, bukan malah tunduk dan menjadikan Perpres Nomor 51 Tahun 2014 tersebut sebagai alasan untuk merevisi Perda RTRWP Bali.
                                                          
                                                          *Tulisan ini dimuat di kolom opini Balipost 5 November 2015