Belum lama ini panitia
khusus arahan peraturan
zonasi (Pansus APZ)
DPRD Bali yang diketuai
oleh Kadek Diana merekomendasikan untuk merevisi
Peraturan Daerah Nomor 16
Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
(RTRWP) Bali. Rekomendasi ini kemudian disetujui dalam rapat paripurna DPRD Bali pada kamis (22/10) lalu. Revisi Perda RTRWP
Bali
bahkan dijadikan prioritas dalam agenda prolegda tahun 2016.
Memang bukan saat ini
saja Perda
RTRWP
Bali
ingin direvisi.
Pada
tahun 2010 juga ada pihak-pihak yang ingin merevisi Perda yang berlaku selama dua puluh
tahun tersebut,
bahkan saat itu sempat
dibuatkan pansus. Ada tiga
agenda utama yang ingin dicapai
dalam
revisi Perda RTRWP
Bali
antara lain mengubah
ketinggian bangunan yang saat
ini maksimal 15 meter, memperpendek jarak sempadan pantai serta menghilangkan radius kesucian pura. Ketiga aturan tersebut dianggap merugikan investasi di
Bali, namun
saat itu usaha merevisi Perda
RTRWP
Bali
kandas.
Apabila dipahami dan ditaati Perda
RTRWP Bali secara singkat dapat disampaikan sebagai sebuah aturan yang cukup ideal dalam menjaga
kelestarian lingkungan di Bali. Perda yang berlaku sampai tahun 2029 ini dapat menjadi
standar minimum dalam menjaga kelangsungan ekologi dan fungsi ekologis terkait
dengan pemanfaatan ruang di Pulau Bali. Pasal 3 Perda RTRWP Bali, secara tegas
mendudukan tujuan Perda
ini adalah untuk mewujudkan ruang wilayah Provinsi Bali yang berkualitas,
aman, nyaman, produktif, berjatidiri berbudaya Bali, dan berwawasan lingkungan
berlandaskan Tri Hita Karana. Selain
itu Perda ini sekaligus bertujuan untuk menciptakan keterpaduan pengendalian
pemanfaatan ruang antara
wilayah provinsi dengan
wilayah
kabupaten/kota dalam rangka perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak
negatif terhadap lingkungan dan budaya Bali akibat pemanfaatan ruang.
Dimasukannya pengaturan terkait kawasan strategis
pariwisata dalam Perda
RTRWP Bali dimaksudkan agar kualitas pariwisata Bali terjaga. Hal ini dengan membatasi
zonasi pariwisata, terutama
pembangunan akomodasi pariwisata
yang tak terkendali. Menurut riset Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata
bersama Universitas Udayana tahun 2010, Bali telah mengalami kelebihan hingga
9800 kamar hotel. Kelebihan kamar tersebut mengakibatkan, walaupun setiap tahun
wisatawan yang berwisata ke Bali terus bertambah, namun tingkat hunian hotel
terus menurun.
Dipaksakan
Saat ini, kembali muncul usulan untuk merevisi Perda RTRWP Bali yang direkomendasikan oleh Pansus APZ. Pansus APZ
beralasan Perda RTRWP Bali harus disesuaikan dengan Peraturan
Presiden Nomor 51 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 45
Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung,
Gianyar dan Tabanan serta Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah. Memang revisi terhadap Perda RTRWP Bali tidaklah tabu, namun apabila
salah satu alasan yang dipakai karena munculnya Perpres
Nomor 51 tahun 2014 tentu akan
menjadi sebuah pertanyaan besar agenda revisi Perda RTRWP Bali Jilid 2 ini kepentingan
siapa?.
Apabila ditarik
kebelakang terbitnya Perpres
Nomor 51 tahun 2014 yang lebih layak disebut Perpres
Reklamasi Teluk Benoa
terkesan dipaksakan. Hal ini berdasarkan fakta bahwa Perpres reklamasi Teluk
Benoa dikeluarkan oleh SBY dimasa akhir jabatannya sebagai presiden. Perpres
tersebut pada intinya menghapuskan teluk benoa sebagai
kawasan konservasi perairan dan diubah menjadi kawasan pemanfaatan. Perubahan
tersebut mengakibatkan teluk benoa yang awalnya tidak dapat direklamasi menjadi
dapat direklamasi oleh investor
seluas
700 hektar.
Rencana reklamasi Teluk
Benoa sendiri
mengabaikan fakta-fakta bahwa rencana reklamasi Teluk Benoa tidak layak
dilakukan berdasarkan aspek lingkungan, aspek teknis, aspek sosial budaya dan
aspek ekonomi finansial di dalam studi kelayakan yang dilakukan oleh
Universitas Udayana. Selain
itu selama tiga tahun ini rencana reklamasi teluk benoa juga mendapat penolakan
dari masyarakat. Masyarakat khawatir apabila reklamasi teluk benoa dipaksakan
maka akan menimbulkan bencana ekologis dikemudian hari yang tentunya akan
merugikan pariwisata Bali sendiri.
Dari pemaparan tersebut dapat diduga bahwa rencana
revisi Perda RTRWP Bali jilid 2 ini tidak lain adalah memuluskan kepentingan
investor untuk mereklamasi Teluk Benoa. Rencana revisi Perda RTRWP Bali jilid 2
ini sangat disayangkan, hal tersebut akan menjadi preseden buruk untuk
penegakan Perda RTRWP Bali kedepannya. Karena setiap ada investasi besar di
Bali yang tidak diakomodir oleh Perda RTRWP Bali, maka Perda RTRWP Bali yang
akan direvisi.
Selain itu, hal tersebut juga dapat menimbulkan
pertanyaan, kapan Perda RTRWP Bali mempunyai kepastian hukum apabila setiap ada
investasi yang melanggar, aturan dalam Perda RTRW yang harus menyesuaikan?.
Bukankah sudah seharusnya DPRD Bali beserta Gubernur Bali mempertahankan Perda
RTRWP Bali sebagai produk hukum yang sah untuk mengatur tata ruang di Bali?.
Di tengah memanasnya pro kontra terhadap rencana
reklamasi Teluk Benoa saat ini, seharusnya DPRD Bali mempertanyakan legalitas
penerbitan Perpres Nomor 51 Tahun 2014 yang ditemukan banyak kejanggalan, bukan
malah tunduk dan menjadikan Perpres Nomor 51 Tahun 2014 tersebut sebagai alasan
untuk merevisi Perda RTRWP Bali.
*Tulisan ini dimuat di kolom opini
Balipost 5 November 2015