Jumat, 06 November 2015

RENCANA REVISI PERDA RTRWP BALI JILID 2*

Belum lama ini panitia khusus arahan peraturan zonasi (Pansus APZ) DPRD Bali yang diketuai oleh Kadek Diana merekomendasikan untuk merevisi Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Bali. Rekomendasi ini kemudian disetujui dalam rapat paripurna DPRD Bali pada kamis (22/10) lalu. Revisi Perda RTRWP Bali bahkan dijadikan prioritas dalam agenda prolegda tahun 2016.

Memang bukan saat ini saja Perda RTRWP Bali ingin direvisi. Pada tahun 2010 juga ada pihak-pihak yang ingin merevisi Perda yang berlaku selama dua puluh tahun tersebut, bahkan saat itu sempat dibuatkan pansus. Ada tiga agenda utama yang ingin dicapai dalam revisi Perda RTRWP Bali antara lain mengubah ketinggian bangunan yang saat ini maksimal 15 meter, memperpendek jarak sempadan pantai serta menghilangkan radius kesucian pura. Ketiga aturan tersebut dianggap merugikan investasi di Bali, namun saat itu usaha merevisi Perda RTRWP Bali kandas.

Apabila dipahami dan ditaati Perda RTRWP Bali secara singkat dapat disampaikan sebagai sebuah aturan yang cukup ideal dalam menjaga kelestarian lingkungan di Bali. Perda yang berlaku sampai tahun 2029 ini dapat menjadi standar minimum dalam menjaga kelangsungan ekologi dan fungsi ekologis terkait dengan pemanfaatan ruang di Pulau Bali. Pasal Perda RTRWP Bali, secara tegas mendudukan tujuan Perda ini adalah untuk  mewujudkan ruang wilayah Provinsi Bali yang berkualitas, aman, nyaman, produktif, berjatidiri berbudaya Bali, dan berwawasan lingkungan berlandaskan Tri Hita Karana. Selain itu Perda ini sekaligus bertujuan untuk menciptakan keterpaduan pengendalian pemanfaatan ruang antara wilayah provinsi dengan wilayah kabupaten/kota dalam rangka perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan dan budaya Bali akibat pemanfaatan ruang.

Dimasukannya pengaturan terkait kawasan strategis pariwisata dalam Perda RTRWP Bali dimaksudkan agar kualitas pariwisata Bali terjaga. Hal ini dengan membatasi zonasi pariwisata, terutama pembangunan akomodasi pariwisata yang tak terkendali. Menurut riset Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata bersama Universitas Udayana tahun 2010, Bali telah mengalami kelebihan hingga 9800 kamar hotel. Kelebihan kamar tersebut mengakibatkan, walaupun setiap tahun wisatawan yang berwisata ke Bali terus bertambah, namun tingkat hunian hotel terus menurun.

Dipaksakan

Saat ini, kembali muncul usulan untuk merevisi Perda RTRWP Bali yang direkomendasikan oleh Pansus APZ. Pansus APZ beralasan Perda RTRWP Bali harus disesuaikan dengan Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan serta Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Memang revisi terhadap Perda RTRWP Bali tidaklah tabu, namun apabila salah satu alasan yang dipakai karena munculnya Perpres Nomor 51 tahun 2014 tentu akan menjadi sebuah pertanyaan besar agenda revisi Perda RTRWP Bali Jilid 2 ini kepentingan siapa?.
Apabila ditarik kebelakang terbitnya Perpres Nomor 51 tahun 2014 yang lebih layak disebut Perpres Reklamasi Teluk Benoa terkesan dipaksakan. Hal ini berdasarkan fakta bahwa Perpres reklamasi Teluk Benoa dikeluarkan oleh SBY dimasa akhir jabatannya sebagai presiden. Perpres tersebut pada intinya menghapuskan teluk benoa sebagai kawasan konservasi perairan dan diubah menjadi kawasan pemanfaatan. Perubahan tersebut mengakibatkan teluk benoa yang awalnya tidak dapat direklamasi menjadi dapat direklamasi oleh investor seluas 700 hektar.

Rencana reklamasi Teluk Benoa sendiri mengabaikan fakta-fakta bahwa rencana reklamasi Teluk Benoa tidak layak dilakukan berdasarkan aspek lingkungan, aspek teknis, aspek sosial budaya dan aspek ekonomi finansial di dalam studi kelayakan yang dilakukan oleh Universitas Udayana. Selain itu selama tiga tahun ini rencana reklamasi teluk benoa juga mendapat penolakan dari masyarakat. Masyarakat khawatir apabila reklamasi teluk benoa dipaksakan maka akan menimbulkan bencana ekologis dikemudian hari yang tentunya akan merugikan pariwisata Bali sendiri.

Dari pemaparan tersebut dapat diduga bahwa rencana revisi Perda RTRWP Bali jilid 2 ini tidak lain adalah memuluskan kepentingan investor untuk mereklamasi Teluk Benoa. Rencana revisi Perda RTRWP Bali jilid 2 ini sangat disayangkan, hal tersebut akan menjadi preseden buruk untuk penegakan Perda RTRWP Bali kedepannya. Karena setiap ada investasi besar di Bali yang tidak diakomodir oleh Perda RTRWP Bali, maka Perda RTRWP Bali yang akan direvisi.

Selain itu, hal tersebut juga dapat menimbulkan pertanyaan, kapan Perda RTRWP Bali mempunyai kepastian hukum apabila setiap ada investasi yang melanggar, aturan dalam Perda RTRW yang harus menyesuaikan?. Bukankah sudah seharusnya DPRD Bali beserta Gubernur Bali mempertahankan Perda RTRWP Bali sebagai produk hukum yang sah untuk mengatur tata ruang di Bali?.

Di tengah memanasnya pro kontra terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa saat ini, seharusnya DPRD Bali mempertanyakan legalitas penerbitan Perpres Nomor 51 Tahun 2014 yang ditemukan banyak kejanggalan, bukan malah tunduk dan menjadikan Perpres Nomor 51 Tahun 2014 tersebut sebagai alasan untuk merevisi Perda RTRWP Bali.
                                                          
                                                          *Tulisan ini dimuat di kolom opini Balipost 5 November 2015

Minggu, 28 Juli 2013

SESAT PIKIR PEMBANGUNAN MEGA PROYEK DI BALI




Bali dikenal sebagai pulau surga sehingga banyak wisatawan yang tertarik ke Bali, tak hanya menikmati keindahan alam dan budayanya, para wisatawan juga tertarik untuk berinvestasi di Bali. Belakangan ini Bali mulai dijejali sejumlah mega proyek baik yang sudah di bangun ataupun yang akan di bangun, namun semua proyek yang dibangun tersebut diduga kuat tanpa memperhitungkan dampak kedepannya bagi lingkungan dan budaya Bali hal tersebut tentunya akan berimbas kepada pariwisata Bali. Bali sebagai sebuah pulau kecil mempunyai batas daya tampung dan daya dukung, masivenya perkembangan pembangunan di Bali tidak diimbangi kesadaran untuk menjaga lingkungannya. Mega proyek- mega proyek yang dibangun hanya mementingkan prestise dan keuntungan bagi segelintir pihak saja. 

Penelitian yang dilakukan oleh Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bali ada 7 permasalahan lingkungan hidup di Bali, yaitu Sampah, Penurunan Kualitas dan Kuantitas Air, Abrasi Pantai, pelanggaran pemanfaatan tata ruang, kerusakan terumbu karang, penurunan keanekaragaman hayati di Bali, hingga luasan kawasan hijau yang masih kurang dari 30%. Sebagian besar permasalahan lingkungan di Bali diakibatkan oleh pesatnya pembangunan pendukung pariwisata. Dari hasil tersebut sudah dapat mencerminkan bagaimana pembangunan yang eksploitatif tersebut merusak Bali secara perlahan.

Pembangunan Mega Proyek di Bali sebenarnya sudah mulai semenjak Gubernur Ida Bagus Oka membuka keran Pembangunan Pariwisata selebar-lebarnya, banyak investor yang tertarik untuk menanamkan sahamnya di Bali, sehingga pembangunan menjadi tak terkontrol. Pulau serangan merupakan awal dari sesat pikir pembangunan mega proyek di Bali. Janji investor untuk mengembangkan pulau serangan dengan segala rencana proyek yang akan di bangun membuat masyarakat terlena saat itu. Namu janji tersebut tinggal janji, yang ditinggalkan dari rencana pengembangan pulau serangan tersebut adalah kerusakan lingkungan yang parah, reklamasi besar-besaran yang dilakukan di pulau serangan berdampak semakin tingginya abrasi pantai-pantai di Bali khususnya di Denpasar, Gianyar, Klungkung hingga Karangasem, selain itu habitan hutan mangrove dan terumbu karang juga rusak.

Sesat pikir pembangunan mega proyek selanjutnya adalah rencana pembangunan Bali International Park (BIP). Mega proyek yang akan dibangun di kawasan Jimbaran tersebut rencananya untuk menunjang kegiatan APEC. BIP akan di bangun dengan memakan lahan lebih dari 200 hektar. Luasnya lahan tersebut digunakan untuk membangun sejumlah wisma presisden, ruang pertemuan hingga akomodasi penginapan.

Sesat pikir dalam pembangunan mega proyek ini adalah pembangunan BIP seakan-akan sangat di butuhkan karena Bali tidak mempunyai tempat untuk menyelenggarakan kegiatan besar sekelas APEC. Padahal Bali sudah biasa menyelenggarakan kegiatan internasional di kawasan Nusa Dua. Rencana pembangunan mega proyek ini mendapat penolakan besar-besaran dari LSM dan masyarakat yang peduli dengan lingkungan Bali alasannya adalah selain di Bali selatan sudah penuh sesak dengan akomodasi pariwisata, hal ini berdasarkan penelitian Kemenbudpar bersama Universitas Udayana di tahun 2010 menyatakan bahwa wilayah Bali selatan sudah mengalami over capacity akomodasi pariwisata sebanyak 9.800 kamar, belum lagi Gubernur Bali Mangku Pastika telah mengeluarkan Moratorium Izin Pembangunan Akomodasi Pariwisata, selain itu Prediksi krisis Air yang menghantui Bali ditahun 2015 dan masalah sengketa lahan dengan petani di kawasan tempat di bangunnya BIP juga menambah alasan kuat untuk menolak mega proyek ini.

Dari hal tersebut, tentu kita dapat menarik kesimpulan bahwa BIP hanya mendompleng kegiatan APEC yang berlangsung tidak lebih dari seminggu, namun akan menambah beban ekologi bagi Bali dalam waktunya panjang. Memang saat ini BIP tidak jadi dibangun untuk menunjang kegiatan APEC, tetapi rencana pembangunan mega proyek ini masih terus berlanjut, bahkan sampai saat ini sudah mendapat izin prinsip dari pemerintah Kabupaten Badung.

Jalan Diatas Laut atau yang lebih dikenal dengan JDP merupakan sesat pikir pembangunan mega proyek selanjutnya. Mega proyek prestius yang merupakan TOL pertama di Bali dan TOL pertama di Indonesia yang berada diatas laut menghubungkan Nusa Dua-Ngurah Rai-Pelabuhan Benoa. Kemacetan di Bali selatan merupakan alasan utama dibangunnya JDP selain sebagai pendukung kegiatan APEC.

Sesat pikir dalam pembangunan JDP bisa kita temui apabila kita tarik lagi ke belakang saat awal Bali selatan secara perlahan mulai macet parah yaitu sekitar tahun 2010, terjadi banyak perubahan alur lalu lintas disekitar simpang patung dewa ruci (depan mall bali galleria). Dulunya kendaraan yang keluar masuk ke mall Bali Galeria menggunakan pintu barat, tetapi sekitar tahun 2010 dirubah, masuk dari pintu utara dan keluar dari pintu barat. Selain itu kalau tidak salah ingat sebelum patung dewa ruci, tepatnya depan pintu masuk utara Bali Galeria dulunya ada jalan yang dipakai memutar kembali ke arah sanur namun tiba-tiba ditutup, sehingga mau tidak mau apabila kita dari arah sanur ingin memutar arah ke sanur harus melewati patung dewa ruci terlebih dahulu untuk memutar arah.

Sekarang coba kita bayangkan hal tersebut pada saat jam makan siang, ataupun jam pulang kerja karyawan hotel-hotel di wilayah Bali Selatan yang tinggal di Denpasar. Tentu hal tersebut akan kelihatan krodit dan sangat macet. Hal tersebut juga didukung belum maksimalnya transportasi umum di Bali dan banyaknya masyarakat pengguna jalan yang tidak seimbang dengan kapasitas jalan. Dengan alasan kemacetan yang dapat dikatakan membuat frustasi masyarakat Bali tersebut, maka tahun 2011 pemerintah menawarkan pembangunan Underpass di patung simpang dewa ruci selain itu dibangun pula jalan TOL diatas laut. Dalam pembangunannya sendiri JDP tidak dibangun sesuai dengan aturan karena secara nyata telah melanggar dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yaitu melakukan pengurugan dengan limestone secara illegal.

Pengurugan tersebut menyebabkan kawasan yang dikenakan pengurugan airnya menjadi keruh dan banyak pohon mangrove yang mati. Selain itu nelayan disekitar JDP juga tidak bisa melaut untuk mencari ikan kembali, lantaran loloan tempat keluar masuknya kapal nelayan sudah diisi dengan tiang pancang.

Sesat pikir pembangunan mega proyek yang paling heboh adalah rencana reklamasi teluk benoa oleh PT. Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) milik pengusaha Tomy Winata. Tidak tanggung-tanggung rencana proyek reklamasi teluk benoa ini memakan lahan 838 hektar, tentu bukan jumlah yang sedikit. Sesat pikir dalam pembangunan mega proyek ini adalah menjadikan alasan mereklamasi pulau pudut yang keadaannya mengkhawatirkan karena abrasi sehingga beberapa masyarakat tanjung Benoa setuju adanya reklamasi tersebut. Namun apabila yang direklamasi mencapai 838hektar, tentu tidak dapat diterima begitu saja mengingat dampak yang akan ditimbulkan. Kita harus ingat reklamasi di pulau serangan yang mengakibatkan abrasi besar-besaran disejumlah pantai di Bali, apabila teluk benoa kembali di reklamasi tentu akan semakin memperparah abrasi pantai di Bali.

Sesat pikir lain dari rencana mega proyek ini adalah menjadikan alasan pulau hasil reklamasi untuk menghalangi tsunami. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana mungkin reklamasi yang dilakukan didalam teluk benoa tersebut dapat menghalangi bahaya tsunami? bukankah justru pulau hasil reklamasi tersebut yang terlindungi dari tsunami karena berada di dalam teluk?

Dalam proses pemberian izinnya juga banyak di temui cacat, SK Gubenur Bali bernomor : 2138/02-C/HK/2012 tentang Pemberian Izin dan Hak Pemanfaatan Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa Provinsi Bali diterbitkan tertanggal 26 Desember 2012 kepada TWBI menjadikan Feasibility Study UNUD yang belum final sebagai dasar dikeluarkannya SK tersebut, selain itu pemberian izin reklamasi diteluk benoa juga bertentangan dengan sejumlah aturan hukum, karena kawasan tersebut merupakan kawasan konservasi yang harus dijaga. Sebagai masyarakat Bali tentunya kita harus bertanya, ada apa sebenarnya di balik pemberian izin yang terkesan di sembunyikan oleh Gubernur Bali ini?

Selain mega proyek diatas masih ada lagi sesat pikir dengan menggunakan pariwisata sebagai kambing hitamnya, yaitu pemberian izin pemanfaatan Tahura Ngurah Rai kepada PT. Tirta Rahmat Bahari seluas 102,22hektar dan juga pembangunan proyek Geothermal di Bedugul. Sesat pikir dalam pemberian izin pemanfaatan Tahura Ngurah Rai bisa kita lihat bahwa Bali kawasan hijaunya masih kurang dari 30% sehingga semestinya pemerintah menambah kawasan hijau, bukan malah memberikan izin pemanfaatan. Selain itu menjadikan sampah sebagai alasan utama pemberian izin kepada PT. TRB sangat sulit diterima, apalagi ditambah pemberian izin untuk membangun akomodasi pariwisata di tengah hutan mangrove tentu juga akan mengancam kelestarian hutan mangrove disana.

Kalau memang pemerintah provinsi Bali dalam ini Gubernur Bali ingin menjaga hutan mangrove seharusnya mengajak masyarakat sekitar untuk ikut serta mengelola, bukan malah langsung memberikan kepada investor. Jadikan Tahura tersebut sebagai tempat tujuan wisata, namun jangan sampai ada pembangunan di dalamnya.

Pemberian izin pemanfaatan tahura ini juga banyak kejanggalan yang ditemui, seperti ditutup-tutupinya pemberian izin. Masyarakat disekitar tahura saja tidak tahu gubernur telah memberikan izin kepada investor. Selain itu dalam izin tersebut juga investor dapat saja menebang pohon di Tahura hal tentu ini bukan jawaban kegelisahan dari Gubernur Bali yang memberikan izin kepada investor untuk menjaga tahura, ditambah lagi adanya rencana pembangunan akomodasi di dalam hutan mangrove menambah alasan sudah seharusnya izin tersebut dicabut.

Proyek Geothermal di begudul juga menjadi sorotan, sesat pikir dalam pembangunan Geothermal ini adalah pembangunan proyek Geothermal ini dilakukan di daerah Bedugul yang merupakan daerah resapan air. Selain itu dari hasil penelitian dari UNUD proyek Geothermal tersebut tidak menjanjikan pasokan listrik di Bali aman karena listrik yang dihasilkan kecil. Pembangunan proyek geothermal ini juga akan membabat ratusan hektar hutan di Bedugul untuk mencari sumber listrik. Hal tersebut tentu saja sangat merugikan masyarakat Bali.

Selain itu patut dicurigai pembangunan Geothermal merupakan salah satu cara untuk membuka lahan di daerah bedugul, agar para investor bisa berinvestasi disana. dugaan ini dikuatkan dari lokasi proyek Geothermal seakan sangat dipaksakan, dan pemandangan yang didapat juga sangat bagus.

Hal tersebut diatas hanya gambaran secara umum hasil diskusi kawan-kawan Walhi Bali. Walhi berjuang bukan untuk kepentingan politis atau kepentingan apapun, tetapi murni berjuang demi Bali yang sangat kami cintai. Pembangunan dengan alasan penunjang pariwisata sangat membabi-buta, bahkan aturan yang ada dilabrak. Sebagai masyarakat Bali harusnya kita bisa kritis dalam melihat hal ini, Bali memang tergantung kepada pariwisata tapi pariwisata juga sangat bergantung kepada lingkungan. Sudah seharusnya kita sadar bersama, bahwa apabila nantinya lingkungan Bali sudah rusak tentu pariwisata Bali yang akan menjadi korbannya.

Selain itu kita juga harus kritis kepada pemerintah sebagai pemegang kebijakan, jangan hanya obral izin saja, bahkan yang paling jelek adalah melabrak kebijakan yang telah dibuatnya sendiri. Seperti Gubernur Bali Mangku Pastika yang telah mengeluarkan Moratorium Izin Akomodasi Pariwisata di Bali selatan namun beberapa kali di labrak seperti dalam pemberian izin pembangunan BIP, Pemanfaatan Tahura kepada PT. TRB dan terakhir pemberian izin reklamasi kepada PT. TWBI.

Untuk masalah kemacetan juga jangan hanya membangun jalan yang diutamakan, tetapi buatlah kebijakan pembatasan kepemilikan kendaraan, hal ini untuk kebaikan kita bersama. Membangun jalan baru memang dapat mengurangi kemacetan, tetapi hanya dalam waktu tertentu saja. Contohnya di Jakarta, bahkan sudah ada jalan layang yang bertingkat tetap saja macet, hal ini karena jumlah kendaraan yang ada terus bertambah.

Diatas juga telah disebutkan permasalahan lingkungan hidup di Bali, seharusnya pemerintah berusaha untuk mengatasi hal tersebut, bukan malah mengobral izin sehingga menambah rusak lingkungan Bali. Selain itu jargon Clean and Green pemerintah provinsi Bali seharusnya bukan sekedar jargon tanpa tindakan nyata.

Stop eksploitasi lingkungan Bali dengan alasan pariwisata yang hanya menguntungkan segelintir pihak. Gubernur dan DPRD sudah  sudah seharunya mengajak para Akademisi, LSM dan Stake Holder terkait untuk membuat kajian bersama secara komprehensif tentang daya dukung dan daya tampung Bali, sehingga dengan demikian bisa dibuatkan rencana kedepan demi pariwisata yang berkelanjutan di Bali. Ingat Pariwisata itu adalah Api, jika pariwisata tidak dikendalikan dengan kebijakan tepat, bukan berkah yang akan diterima, melainkan bencana.

Terakhir sebagai renungan kita bersama, apabila pariwisata di Bali sudah tidak lagi menjanjikan karena lingkungannya sudah rusak, para investor dengan mudah akan pergi meninggalkan Bali untuk berinvestasi di tempat lain. Kita sebagai masyarakat Bali lah yang akan menerima akibatnya. Kita harusnya sadar untuk menjaga Bali bersama-sama, bukan untuk kepentingan individu atau kelompok, tapi untuk kepentingan bersama masyarakat Bali dan tentunya warisan untuk anak cucu kita nantinya.

“Bumi cukup untuk memenuhi semua kebutuhan makhluk hidup, namun tidak cukup untuk memenuhi keinginan segelintir manusia yang serakah.” (Mahattma Gandhi)

Minggu, 30 Desember 2012

Refleksi Akhir Tahun Lingkungan Bali



“Pembangunan Bali Tak Terkendali, Sumber Daya Alam Terkuras”

Tahun 2012 akan berakhir, dan berganti ke tahun 2013 dalam beberapa jam lagi. Namun kita harus kemBali merefleksikan apa yang telah terjadi di tahun 2012 terutamanya mengenai permasalahan lingkungan di Bali. Diharapkan nantinya dengan refleksi ini menjadi sebuah pelajaran berharga bagi kita semua untuk lebih menjaga lingkungan di Bali.

Bali memiliki pesona yang dapat memikat banyak wisatawan untuk datang ke Bali. Pendapatan Asli Daerah Bali (PAD) paling besar berasal dari industry pariwisata. semakin lama perkembangan industry pariwisata di Bali semakin pesat, hal tersebut dapat dilihat dengan berbagai fasilitas pendukung pariwisata yang di bangun pada tahun 2012. Paling banyak tentunya pembangunan Akomodasi Pariwisata.

Sayang pesatnya pembangunan Akomodasi pariwisata serta fasilitas penunjang yang tidak diimbangi dengan komitmen untuk menjaga lingkungan di Bali. Para pemodal hanya memikirkan bagaimana cara dapat mengeruk keuntungan yang semaksimal mungkin, tanpa memikirkan akibat dari eksploitasi secara besar-besaran di Bali.

Ingat Bali adalah sebuah pulau kecil yang tentunya mempunyai batas daya dukung dan daya tampung. Apabila pembangunan tersebut terus-menerus dilakukan tanpa memikirkan keterbatasan yang dimiliki maka akan berdampak bertambahnya kerusakan lingkungan di Bali. Dengan kerusakan lingkungan tersebut tentu saja berdampak negative terhadap keberlanjutan pariwisata di Bali.

Alih Fungsi Lahan, Krisis Air dan Pencemaran

Alih fungsi lahan di Bali dari tahun 2007 sampai 2011 ada kecenderungan meningkat. Rata-rata alih fungsi lahan di Bali mencapai 600 Hektar dalam setahun. Tentu saja yang paling besar menjadi korban dari alih fungsi lahan tersebut adalah lahan pertanian produktif.  Lahan pertanian produktif tersebut dalam sekejap berubah menjadi bangunan beton.

Selain itu di Bali pada tahun 2012 ramai dengan peristiwa krisis air dan kekeringan. Krisis air bersih di Bali sebenarnya sudah diperkirakan Penelitian yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup pada 1997 silam menyebutkan jika Bali akan mengalami krisis air pada 2013 sebanyak 27 miliar liter. Ahli hidrologi lingkungan Universitas Udayana, Wayan Sunartha, memperkirakan Bali akan  mengalami defisit air 26,7 miliar meter kubik pada 2015.

Maraknya pembangunan akomodasi pariwisata seperti hotel dan villa di Bali tidak saja mengeksploitasi penggunaan air permukaan tetapi juga air bawah tanah, penggunaan air di Bali kini telah melebihi kapasitas siklus hidrologi, sehingga secara kuantitas volume dan kualitas air, Bali telah mengalami krisis air.

Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali mengakui kebutuhan air untuk perhotelan sangat besar. Yaitu kebutuhannya mencapai 30 liter per orang. Jika di Badung saja ada 78.000 kamar dan tingkat hunian 50 persen, berarti sekitar 34.000 kamar berisi dua orang. Itu artinya ratusan ribu liter air yang digunakan per hari.

Selain itu bukti lapangan yang dapat menjadi petunjuk awal krisis air adalah mengeringnya beberapa sungai di Bali dan tingkat intrusi air laut yang semakin parah. Data Badan Lingkungan Hidup (BLH) Bali menunjukkan bahwa 200 lebih atau 60 persen daerah aliran sungai di Bali mengering dan itu potensi air permukaan. Data BLH juga yang menyatakan bahwa daerah Suwung, Sanur dan Kuta sudah mengalami intrusi air laut sejauh satu kilometer artinya ada penggunaan air bawah tanah yang sifatnya sangat eksploitatif.

BLH juga menemukan ada 13 pantai di Bali yang tercemar limbah. Diduga limbah tersebut berasal dari hotel atau tempat usaha lainnya di sekitar pantai. Di pantai-pantai tersebut BLH menemukan beberapa zat pencemar, seperti zat nitrat, zat dari detergen, minyak, dan timbal. Akibat dari pencemaran tersebut sektor pariwisata dapat terganggu, sebab beberapa pantai yang tercemar merupakan pantai andalan pariwisata di Bali, seperti Pantai Kuta dan Sanur. Pantai lainnya yang tercemar adalah Pantai Serangan, Benoa, Tanjung Benoa, Mertasari, Lovina, Soka, Candidasa, Tulamben, Pengambengan, Gilimanuk, dan Padangbai.

Pembangunan tak terkendali

Sepanjang tahun 2012 Walhi Bali mencatat ada 5 pembangunan/proyek yang diduga akan memberi pengaruh besar terhadap kerusakan lingkungan di Bali yaitu Pembangunan Bali International Park (BIP), Pemberian izin pemanfaatan hutan Dasong dan juga hutan mangrove Taman Hutan Raya Ngurah Rai, Pelanggaran AMDAL dan pengurugan laut dalam pembangunan jalan diatas perairan (JDP), serta rencana eksplorasi air oleh salah satu produsen minuman kemasan di desa Peladung Karangasem.

Alasan utama dari penolakan dibangunnya BIP adalah pembangunan BIP dengan menggunakan lahan seluas 250 hektar di Jimbaran. Alasan untamanya adalah untuk menunjang agenda APEC, padahal pembangunan BIP dianggap belum terlalu mendesak, mengingat Bali sudah biasa mengadakan pertemuan internasional di Nusa Dua. Selain itu juga masih terjadi sengketa agraria dilokasi pembangunan antara petani dompa dengan investor.

Pemberiaan izin pemanfaatan Hutan Dasong di Bali utara dan Hutan Mangrove Tahura Ngurah Rai di Bali selatan tentu akan berpengaruh terhadap lingkungan di Bali terutamanya akan berkurangnya luasan hutan di Bali. Saat ini saja luas di Bali hanya sebesar 22% dari seharusnya luas minimal 30% yang diamatkan oleh perda RTRWP Bali. Pembangunan akomodasi pariwisata di dalam hutan tentunya akan berpengaruh terhadap keadaan hutan itu sendiri.

Pemberian izin di hutan Dasong ditolak selain merupakan daerah hutan lindung, juga karena hutan di Bali utara merupakan daerah resapan air yang apabila ada kerusakan ditakutkan akan memperparah kekeringan di Bali. Ini karena hutan Dasong berdekatan dengan 3 dari 4 Danau sebagai sumber utama air di Bali yaitu danau Buyan, Tamblingan dan juga danau Beratan.

Izin pemanfaatan tahura Ngurah Rai juga ditolak karena selain sebagai daerah resapan air di Denpasar. Hutan mangrove di Tahura Ngurah Rai mempunyai fungsi yang sangat vital yaitu sebagai penjaga pesisir, sebagai kawasan mitigasi bencana, tempat hidupnya berbagai biota laut, juga mempunyai kemampuam yang besar untuk menyerap karbon, selain itu mangrove juga melindungi dari tsunami dan intrusi air laut. Ditakutkan apabila ada akomodasi didalam hutan mangrove maka akan menyebabkan kerusakan ekosistem mangrove. Selain itu dalam pemberian izinnya juga tidak ada ketransparanan.

Pembangunan Jalan Diatas Perairan (JDP) adalah juga mega proyek yang paling disorot ditahun 2012. Jalan yang rencananya digunakan sebagai salah satu fasilitas penunjang APEC dan altrnatif sebagai pemecah kemacetan di Bali selatan dibangun dengan melanggar AMDAL. Pelanggran AMDAL yang dimaksudkan adalah pelaksana proyek melakukan pengurugan air laut menggunakan batukapur (limestone) yang tentunya dapat mencemarkan air laut disekitar proyek dan tidak ada di dokumen AMDAL. Alasan yang diberikan oleh pelaksana proyek adalah untuk mempercepat penyelesaian proyek.

Dan terakhir adalah keinginan salah satu produsen air kemasan untuk melakukan ekploitasi mata air di desa Peladung Karangasem. Padahal di Karangsem sendiri tahun 2012 telah terjadi kekeringan diberbagai tempat. Dan apabila eksploitasi dilakukan ditakutkan akan lebih memperparah kekeringan disana. Namun warga desa Peladung melakukan penolakan, hal ini mereka sampaikan saat rapat desa.

Di Bali sendiri pada tahun 2011 Gubernur Bali sudah membuat surat edaran yang isinya untuk melakukan moratorium pembangunan akomodasi pariwisata karena dari penelitian yang dilakukan oleh kementerian pariwisata, Bali selatan sudah kelebihan kamar sebanyak 9800, dan menurut kementerian Pariwisata di Bali selatan tidak memerlukan pembangunan kemBali sampai tahun 2015. Dengan semakin pesatnya pembangunan akomodasi pariwisata tentunya juga akan berimbas pada penggunaan lahan dan air.

Refleksi 

Di tahun 2013 mendatang di Bali akan dilaksanakan berbagai hajatan internasional maupun nasional, sejumlah proyekpun sudah mulai direncanakan untuk dibangun, seperti jalan diatas sawah, pembangunan sirkuit formula 1, dan tentunya yang paling marak adalah pembangunan akomodasi pariwisata.

Seharunya pemerintah provinsi Bali bisa merefleksi apa yang telah terjadi ditahun 2012 dan selanjutnya memikirkan konsep bagaimana pembangunan yang berkelanjutan, jangan hanya memikirkan sekarang. Semua yang ada di Bali dikuras untuk kepentingan uang semata dengan pariwisata sebagai kambing hitamnya. Yang menikmati hasil dari industri pariwisata di Bali sebagian besar adalah orang luar Bali. Pemerintah Bali juga harus memikirkan daya tampung dan daya dukung yang dimiliki oleh Bali.

Apabila seluruh sumber daya alam di Bali sudah terkuras habis dan lingkungan di Bali sudah rusak tentu pariwisata di Bali akan mati. Ingat Mahatma Gandhi pernah berkata : Bumi cukup untuk memenuhi semua kebutuhan seluruh makhluk hidup, tetapi tidak cukup untuk sebuah kerakusan. 

Semoga pemerintah provinsi Bali bisa sadar tentang hal ini sebelum terlambat. Apabila nantinya tanah Bali sudah habis, hutan Bali sudah rusak, Air di Bali sudah kering maka tak akan ada lagi namanya industri pariwisata di Bali dan apabila saat itu tiba pemerintah akan menyesal kalau uang yang didapat tidak berarti apa-apa lagi.

“Selamat Tahun Baru 2013 semoga damai di hati, damai di jiwa dan damai di Bumi”

Minggu, 18 November 2012

Ultah ke 22 : Doa dan Harapan Untuk Masa Depan




Sama seperti hari-hari biasanya, hari minggu inipun aku bangun pagi. Setelah merapikan tempat tidur seperti biasa kalau lagi dirumah, aku berbagi tugas dengan adikku untuk menyapu halaman rumah. Hari minggu ini terasa istimewa  karena hari ini adalah dimana 22 tahun yang lalu aku dilahirkan.

Bersyukur sekali tuhan sampai sekarang masih memberikanku kesempatan merasakan nikmatnya menghirup segarnya udara yang mungkin sudah tidar sesegar dulu karena banyaknya pencemaran udara,  masih memberikanku kesempatan untuk memperbaiki diri,  masih memberikanku kenikmatan dan kesehatan tanpa ada kekurangan satu apapun.

Ucapan selamat ulang tahun dan doapun banyak aku dapatkan, dari Ayah, Ibu, Adik, sanak saudara, sahabat dan teman-teman baik diucapkan langsung, sms, via Facebook ataupun twitter hampir seharian. senang rasanya masih punya orang-orang yang memperhatikan.

Hari ini berlangsung begitu cepat, ayah dan ibu sudah merencanakan untuk bikin acara makan keluarga kecil-kecilan untuk merayakan ulang tahunku, maka dari sore mereka sudah mulai memasak dan adikku membeli camilan dan menyiapkan minumannya.

jam 7 malam makanan sudah tersedia, ternyata ibu dan ayah memasak makanan kesukaanku, ada babi kecap, ayam sambel matah, sayur terong, dan sambal tomat, sedangkan adikku membuatkan kami jus sebagai teman makan malam ini.

Sederhana memang tapi penuh dengan makna karena bagiku Tak perlu ada pesta gegap gempita, tak perlu ada tepuk tangan sorak gembira, atau nyanyian happy birthday. Umur hanyalah sebuah angka, tapi bukan berarti tanpa makna. Buatku bertambahnya umur berarti aku harus bisa semakin bijak dalam menyikapi hidup.

Mungkin sampai saat ini masih terlalu banyak mimpi yang belum diraih dan terlalu banyak rencana belum terwujud, tapi aku bersyukur di ulang tahunku kali ini aku sudah mendapatkan gelar sarjanaku. Harapan dan Doaku untuk ulang tahunku ini sederhana, aku ingin meraih mimpi-mimpiku dan mewujudkan impianku agar kelak bisa membanggakan orangtuaku.

Sekali lagi terimakasih tuhan hamba sudah diberikan tambahan umur, semoga hamba bisa menjadi lebih dewasa dalam berpikir, berkata, dan berbuat, tuntunlah hamba selalu dijalanmu dan selalu diberkati.terimakasih juga untuk Ayah, Ibu, Adik, Sanak Saudara, Sahabat dan teman-teman atas ucapan selamat doanya.

Jumat, 16 November 2012

Demo itu Belajar!!!




Sewaktu kuliah dulu, pernah ibu marah waktu melihat fotoku sedang orasi terpampang besar di Koran dan lumayan banyak juga saudara-saudara yang membaca langsung menasehati kalau aku harus konsentrasi untuk skripsi dan kuliahku. Mereka takut nantinya kuliahku keteteran gara-gara ikut demo. Kalau bapak orangnya demokratis, bapak tidak pernah melarang aku untuk ikut demo selama itu dijalan yang benar dan tidak mengganggu kuliahku.

Apa yang ditakutkan keluargaku kalau aku ikut demo semua bisa aku bantahkan, pemikiran orang yang bilang mahasiswa pendemo itu adalah orang bodoh, tidak punya kerjaan dan lulusnya pasti lama bahkan sampai ada yang Drop Out (DO) juga bisa aku jawab. aku menyelesaikan kuliah S1 ku tepat 4 tahun, karena setahuku standart untuk menyelesaikan pendidikan S1 memang 4 tahun. Kalau masalah IP walaupun tidak besar tapi aku bangga bisa dapat IP diatas 3, kalau masalah pintar atau bodoh sila tanyakan ke dosen dan teman-temanku di kampus. Tapi yang pasti aku bisa buktiin kepada keluargaku kalau demo tidak pernah mengganggu kuliahku.

Demo bagiku sama seperti proses kuliah dikampus, malah lebih banyak ilmu yang akan didapat karena praktek langsung. bedanya kuliah itu belajarnya di kampus kalau demo itu belajarnya di jalanan. Asal kalian tahu Demo itu ga semudah seperti yang kalian bayangkan, banyak hal yang perlu dipersipakan. Apalagi kalau kalian mau berorasi, itu bukan teriak-teriak dengan nada marah yang ga jelas dan seenaknya.

Untuk melakukan orasi, pendemo biasanya akan belajar dan menganalisa apa yang akan dia sampaikan ini tujuannya untuk membentuk pikiran yang kritis, agar peserta demo dan masyarakat mengerti apa yang dia disampaikan saat orasi.Tidak  sampai disitu, orang yang mau berorasi juga harus mempunyai keberanian karena dia akan menyampaikan sesuatu di hadapan banyak orang.

Kalau kalian bilang pendemo itu orang yang ga ada kerjaan, tapi buatku pendemo itu adalah orang yang bekerja. Pendemo adalah orang yang kritis karena mereka mempunyai pemikiran yang beda dan terus bergerak jika merasa ada sesuatu  yang tidak benar. Demo juga tidak salah dimata hukum karena demo itu adalah hak untuk mengemukakan pendapat.

Untuk kalian yang bilang demo itu tidak menghasilkan apa-apa, mungkin kalian harus belajar banyak dari sejarah. Misalkan saja saat diturunkan paksanya Soeharto jadi Presiden, itu bukan dari kalangan akademisi yang kerjaannya melakukan penelitian dan seminar berhasil menurunkan Soeharto, tetapi masyarakat yang ada di jalanan yang demo.

Jujur aku sedih mendengar cerita dari seorang adik kelas di Fakultas Hukum Udayana Angkatan 2012 yang mengatakan pada saat dia diospek dan ada materi sejarah pergerakan mahasiswa, malah pemateri mengatakan Demo itu adalah hal yang mubazir dan tidak perlu. Dia lanjut mengatakan kalau pemateri tersebut menyarankan kepada mahasiswa baru kalau ada permasalahan jangan sampai turun kejalan, mending datang langsung ke DPRD dan bicarakan langsung jadi tidak perlu berteriak dan berpanas-panasan.
Hal yang sangat aneh disaat pemateri menyampaikan materi pergerakan mahasiswa yang identik dengan demo malah menyarankan mahasiswa tidak demo lagi, boleh dikatakan pemateri yang membawakan sejarah pergerakan mahasiswa itu menyedihkan dan mungkin di tidak pernah merasakan bagaimana ikut demo, tapi membawakan materi tentang pergerakan mahasiswa.

Ingat kalian adalah mahasiswa yang punya idealisme dan membunyai tugas sebagai agen of change dan agent of social control di masyarakat. Kalian juga punya tanggungjawab kepada masyarakat bukan malah nyaman dengan status “mahasiswa” seakan menutup mata dengan permasalahan yang terjadi di masyarakat.

Bergeraklah kalian Mahasiswa!!

"perlawanan tidak akan pernah datang dari tempat yang nyaman"

Hidup Mahasiswa!!!

Senin, 12 November 2012

Cabut Izin Pengusahaan Pariwisata Alam PT. Tirta Rahmat Bahari di Hutan Mangrove Kawasan Taman Hutan Raya Ngurah Rai, Denpasar




Bali adalah gugusan pulau kecil. Makin lama situasi lingkungan hidup di Bali semakin rentan. Fakta-fakta berikut menjelaskan bahwa situasi lingkungan hidup di Bali sangat memprihatinkan :
1)      Luas kawasan hutan di Bali hanya 20% dari luasan pulau Bali, defisit 10% dari luas minimal 30% dari luas wilayah pulau Bali yang diamanatkan Perda RTRWP Bali. Itupun dalam keadaan kritis.
2)      Pencemaran di 13 titik pantai strategis akibat industri pariwisata seperti kawasan pantai sanur, pantai mertasari, pantai kuta, pantai lovina, pantai candidasa, pantai tanah lot, pantai soka dll.
3)      Interusi air laut (masuknya air laut ke daratan) massif terjadi. Di daerah Sanur kurang lebih mengalami interusi sejauh ±1 KM
4)      Kerusakan kawasan pesisir pada 140 titik abrasi dari panjang pantai sekitar 430 km. Laju kerusakan pantai di Bali diperkirakan 3,7 km per tahun dengan erosi ke daratan 50-100 meter per tahun

Hutan Mangrove di kawasan Taman Hutan Raya (TAHURA) Ngurah Rai merupakan benteng terakhir kawasan pesisir Bali Selatan dari abrasi/erosi. Selain berfungsi sebagai pengendali intrusi air laut, mereduksi polutan dan pencemaran air agar kualitas air terjaga, serta tempat berbagai jenis fauna dan biota laut berkembang biak termasuk sebagai kawasan mitigasi bencana terutama Bencana Tsunami. Hal ini mengingat daerah ini memiliki sejarah terkena Tsunami, setidaknya tujuh kali dari tahun 1818 sampai 1994 dengan rata-rata kejadian setiap 25 tahun.

Ditengah kondisi lingkungan hidup yang makin kritis, tidak disangka pada tanggal 27 Juni 2012 Gubernur Bali menerbitkan izin pengusahaan pariwisata alam di kawasan Mangrove Taman Hutan Raya Ngurah Rai kepada PT. Tirta Rahmat Bahari (PT. TRB) seluas 102.22 Ha melalui Surat Keputusan Gubernur Bali No. 1051/03-L/HK/2012. Jangka waktu yang diberikan kepada PT. TRB selama 55 tahun disertai hak prioritas selama 20 tahun. Dapat dikatakan kawasan mangrove akan diusahakan oleh PT. TRB selama 75 tahun.

Ironisnya, berdasarkan masterplan pembangunan oleh PT. TRB, di kawasan Tahura Ngurah Rai akan dibangun akomodasi wisata berupa 75 penginapan, 8 restaurant, 2 Spa, coffe shop dan penunjang pariwisata alam yang lain. Bayangkan betapa kelestarian kawasan hutan mangrove TAHURA Ngurah Rai akan terancam.

Terbitnya surat keputusan Gubernur Bali tersebut tentu saja tidak sesuai dengan visi Gubernur Bali untuk mewujudkan Bali Clean and Green. Bertentangan dengan semangat kebijakan moratorium pembangunan akomodasi pariwisata di Bali Selatan dan bertentangan dengan asas-asas good governance/pemerintahan yang baik.

Mengingat vitalnya fungsi hutan mangrove di kawasan Tahura Ngurah Rai tersebut dan melihat kondisi lingkungan hidup di Bali yang semakin kritis, ayo dukung gerakan agar Gubernur Bali mencabut Surat Keputusan Gubernur Bali No. 1051/03-L/HK/2012 tentang izin pengusahaan pariwisata alam pada blok pemanfaatan kawasan Taman Hutan Raya Ngurah Rai, Provinsi Bali seluas 102,22 Ha kepada PT. Tirta Rahmat Bahari.

Paraf petisi ini, sekarang! http://www.change.org/id/petisi/cabut-izin-pengusahaan-pariwisata-alam-pt-tirta-rahmat-bahari-di-hutan-mangrove-kawasan-taman-hutan-raya-ngurah-rai-denpasar

Selamatkan Hutan Mangrove dan Lingkungan Hidup di Bali untuk masa depan anak cucu kita!  #SaveMangrove

Komite Kerja Advokasi Lingkungan Hidup (KEKAL) Bali (WALHI Bali, FRONTIER Bali, Bali Outbound Community, LPM Kertha Aksara, dan indvidu-individu peduli lingkungan)

Sabtu, 03 November 2012

Sebelum Api Pariwisata Memusnahkan Bali



Pariwisata adalah api. Dia harus dikendalikan.
Kebudayaan merupakan potensi dalam pengembangan pariwisata di Bali. Pengembangan pariwisata bertumpu kepada kebudayaan biasa disebut pariwisata budaya. Kebudayaan di sini adalah kebudayaan di Bali baik dari segi adat istiadat, kesenian, kearifan lokal dan lain-lain yang mendukung pariwisata di Bali.
Selain kebudayaan, keindahan alam Bali juga menjadi tempat favorit untuk berwisata. Bali juga menawarkan keindahan alam dan kebudayaan yang sudah terkenal. Alam yang indah merupakan anugerah Tuhan untuk masyarakat Bali. Karena itu alam harus dijaga kelestariannya agar Bali tetap menjadi primadona tempat berwisata. Adapun budaya yang terkenal di Bali antara lain seni tari, lukis, dan patung. Semua budaya itu juga harus dijaga kelestariannya agar tidak tergerus oleh perkembangan zaman.
Selain keindahan alam dan keunikan budayanya, Bali juga terkenal karena kesakralannya. Banyaknya Pura, tempat pemujaan bagi umat Hindu, membuat Bali mendapat sebutan Pulau Seribu Pura. Hal tersebut di ataslah yang menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk datang ke Bali.
Walaupun sempat luluh lantak karena dua kali serangan bom, namun pariwisata Bali dengan cepat bisa bangkit. Bahkan, pariwisata Bali berkembang sangat pesat khususnya di wilayah Bali selatan. Perkembangan pariwisata yang sangat pesat dan terkonsentrasi ini dapat menimbulkan berbagai dampak, positif ataupun negatif.
Dampak positif perkembangan pariwisata di Bali antara lain memperluas lapangan pekerjaan, bertambahnya kesempatan berusaha, meningkatkan pendapatan, terpeliharanya kebudayaan Bali, dan dikenalnya kebudayaan Bali.
Adapun dampak negatif perkembangan pariwisata yang sangat pesat di Bali adalah terjadinya tambahan penduduk akibat pendatang baru dari luar daerah Bali, timbulnya komersialisasi terhadap kebudayaan Bali, berkembangnya pola hidup konsumtif masyarakat Bali, terganggunya lingkungan hidup di Bali, makin terbatasnya lahan pertanian di Bali, pencemaran budaya, dan terdesaknya masyarakat Bali.
Selain dampak-dampak di atas, ada pula dampak positif dari kegiatan pariwisata terhadap budaya masyarakat Bali. Misal, munculnya kreativitas dan inovasi budaya, akulturasi budaya, dan revitalisasi budaya. Sedangkan dampak negatif yang sering dikhawatirkan terhadap budaya masyarakat Bali adalah adanya proses komodifikasi budaya, peniruan budaya dan profanisasi budaya (Shaw and Williams, dalam buku Ardika 2003:25).
Dampak pariwisata terhadap budaya masyarakat lokal sebagaimana disebutkan di atas akibat tiga hal. Pertama, masyarakat ingin memberikan hasl karya seni atau kerajinan yang bermutu tinggi kepada para pembeli (wisatawan). Kedua, untuk menjaga citra dan menunjukan identitas budaya masyarakat lokal kepada wisatawan yang datang berkunjung. Ketiga, masyarakat ingin memperoleh uang akibat meningkatnya komersialisasi (Graburn 200 dalam Ardika 2003).
Subadra (2006) memberikan batasan yang lebih jelas mengenai dampak sosial-budaya pariwisata. Dampak positif sosial budaya pengembangan pariwisata dapat dilihat dari adanya pelestarian budaya-budaya masyarakat lokal, seperti kegiatan keagamaan, adat-istiadat dan tradisi, dan diterimanya pengembangan objek wisata dan kedatangan wisatawan oleh masyarakat lokal.
Sedangkan dampak negatif sosial budaya pengembangan pariwisata dilihat dari respon masyarakat lokal terhadap keberadaan pariwisata seperti adanya perselisihan atau konflik kepentingan di antara para pemangku kebijakan, kebencian dan penolakan terhadap pengembangan pariwisata, dan munculnya masalah-masalah sosial seperti praktek perjudian dan prostitusi.
Adanya dampak positif pariwisata di Bali terhadap kebudayaan Bali menunjukan keselarasan ungkapan “Pariwisata untuk Kebudayaan”. Artinya pengembangan pariwisata benar-benar memberikan dampak positif terhadap perkembangan kebudayaan dalam arti luas. Ini artinya perkembangan pariwisata di Bali secara positif dapat memperkokoh kebudayaan Bali itu sendiri.
Eksploitasi
Di samping pariwisata dapat mengembangkan dan melestarikan kebudayaan, sekarang ini yang sering terjadi malah sebaliknya yaitu tereksploitasinya kebudayaan Bali yang berlebihan demi kepentingan pariwisata. Tentu hal ini akan berdampak negative terhadap perkembangan kebudayaan Bali, ini sering terjadi akibat adanya komersialisasi kebudayaan dalam pariwisata. Artinya, memfungsikan pola-pola kebudayaan seperti kesenian, tempat-tempat sejarah, adat-istiadat, dan monument-monumen diluar fungsi utamanya demi kepentingan pariwisata.
Perkembangan pariwisata memang dapat menumbuhkembangkan aspek-aspek kebudayaan seperti kesenian dan adat-istiadat di Bali. Akan tetapi, di balik itu ternyata muncul permasalahan akibat tereksploitasinya aspek-aspek kebudayaan tadi. Misalnya, muncul berbagai kesenian yang awalnya hanya dipentaskan untuk kepentingan upacara agama, kemudian dipertunjukan untuk kepentingan wisatawan. Demikian juga dijadikannnya tempat suci sebagai objek wisata. Ini merupakan fakta yang terjadinya komersialisasi budaya dalam pariwisata di Bali, karena sudah berubah dari fungsi utamanya.
Disamping terjadinya komersialisasi, tampaknya yang perlu juga menjadi pemikiran bersama adalah adanya pola pembinaan kebudayaan dalam arti luas sebagai pendukung kepariwisataan. Sudah menjadi kenyataan devisa yang dihasilkan dari pengembangan pariwisata digunakan oleh negara untuk melaksanakan pembangunan di segala bidang. Devisa itu dibagi-bagi kesemua aspek pembangunan, sehingga dirasakan sangat kecil kembali pada bidang kebudayaan. Padahal seccara nyata kebudayaan itulah sebagai penopang paling besar dalam pariwisata untuk mendatangkan devisa.
Kesan yang ditimbulkan dari kejadian tersebut adalah bukan Pariwisata untuk Kebudayaan tetapi Kebudayaan untuk Pariwisata hal ini dapat dilihat dari tereksploitasinya kebudayaan Bali untuk kepentingan promosi tanpa adanya usaha untuk menjaga dan melestarikannya. Sebagai contoh adalah banyaknya museum-museum di Bali yang tidak terawat, padahal museum ini merupakan asset budaya Bali yang tidak ternilai harganya. Hal lain adalah sekarang petani di Bali sudah banyak termakan bujuk rayu para investor agar petani di Bali mau menjual sawahnya untuk kepentingan pembangunan akomodasi pariwisata. Padahal pertanian di Bali merupakan salah satu budaya yang dimiliki karena disini ada Subak yaitu organisasi pengairan yang hanya ada di pulau Bali. Logikanya adalah apabila lahan pertanian sudah habis maka dengan sendirinya subak tersebut akan hilang.
Contoh lain adalah para penyedia jasa pariwisata/akomodasi pariwisata berlomba-lomba untuk menawarkan hotel, resort ataupun vila-vila dengan pemandangan yang indah dan fasilitas mewah yang bisa disewa apabila mereka  berkunjung ke Bali, dan sebagai bonusnya para wisatawan yang datang ke Bali dapat menyaksiakan kebudayaan Bali. Dari logika ini maka Bali yang selama ini di kenal sebagai Pariwisata untuk kebudayaan berubah menjadi kebudayaan untuk pariwisata.
Masyarakat Bali seharusnya segera sadar dengan kejadian ini agar Bali tidak kehilangan jatidirinya, yaitu Bali sebagai pariwisata untuk kebudayaan yang dikenal karena keindahan alam, seni, budaya dan keramah-tamahan masyrakatnya, bukan kebudayaan untuk pariwisata dimana Bali dikenal karena hotel, resort atau vila-vila mewahnya. Dan jangan sampai Bali menjadi korban dari pesatnya perkembangan pariwisatanya sendiri karena tunduk kepada kepentingan investor.
Pariwisata itu adalah Api. Maka jika pariwisata tidak dikendalikan dengan kebijakan tepat, bukan berkah yang akan diterima, melainkan bencana. Kobaran api pariwisata akan membakar habis Bali hingga tak bersisa. Bahkan api pariwisata bisa menjelmakan Bali dari “The Last Paradise” (surga terakhir) menjadi “The New Hell” (neraka yang baru). [b]