Minggu, 21 Oktober 2012

Izin Pemanfaatan Tahura Ngurah Rai Bali Janggal!



Lumayan banyak pengguna twitter yang berdiskusi tentang keluarnya izin pemanfaatan hutan mangrove oleh Gubernur Bali seluas 102,22 Hektar kepada investor, timeline twitterpun di penuhi argument orang-orang yang Pro dan Kontra. Disini saya dan teman-teman hanya memberikan analisa kecil mengapa izin pemanfaatan hutan mangrove kepada investor itu harus dicabut oleh pemerintah provinsi Bali dalam hal ini Gubernur :

a). Yang pertama adalah proses keluarnya izin pemanfaatan Tahura Ngurah Rai kepada investor seluas 102,22 hektar :

Dari segi legalformal pengeluaran izin tersebut dapat dikatakan sudah sesuai dengan peraturan yang dipakai sebagai dasar pertimbangan yaitu UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Juga PP No. 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam. Tetapi ada yang harus diingat ada aturan legalformal yang diabaikan dalam pemberian izin pemanfaatan Tahura Ngurah Rai  yaitu Pemerintah dalam hal ini lembaga Eksekutif ( Gubernur Bali ) tidak mengajak DPRD Bali sebagai lembaga Legislatif yang mempunyai fungsi Pengawasan terhadap setiap keputusan yang dikeluarkan oleh Gubernur dan hal ini diatur didalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Dari segi kepatutan pengeluaran izin tersebut dikatakan tidak patut karena situasi kawasan hutan di Bali saat ini yang ada hanya sekitar 20% dari luas wilayah Bali dan berada dalam situasi kristis karena banyaknya alih fungsi lahan, kebakaran hutan, dan illegal logging sehingga setiap tahun luas kawasan hutan di Bali semakin berkurang. Luas kawasan hutan yang tersisa di Bali sekitar 20% tentu tidak sesui dengan amanat Perda No. 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali pasal 59 ayat (3) huruf c yang mengamanatkan luas kawasan hutan di Bali adalah Minimal 30% dari luas wilayah Bali.

Selain hal tersebut pemberian izin pemanfaatan tahura itu tidak sesuai dengan program Bali Clean and Green yang diwacanakan oleh pemerintah provinsi Bali dan juga Moratorium akomodasi pariwisata yang diwacanakan oleh Gubernur Bali. Karena dengan luas kawasan hutan di Bali yang masih sekitar 20% seharusnya pemerintah menambah kawasan hutan di Bali dengan jargon Bali Clean and Greennya, bukan malah memberikan izin pemanfaatan Tahura Ngurah Rai kepada investor.

Kita juga harus ingat statement Gubernur Bali di media massa, kalau izin yang diberikan tersebut sudah dikaji selama 2 tahun, Faktanya adalah Direktur PT. Tirta Rahmat Bahari baru mengajukan izin pemanfaatan kepada gubernur pada tanggal 27 April 2011, setelah itu Gubernur memberikan izin prinsip pada tanggal 29 Juli 2011 dan pada tanggal 27 Juni 2012 Gubernur mengeluarkan keputusan yang memberikan izin pemanfaatan kepada PT. Tirta Rahmat Bahari di Tahura Ngurah Rai seluas 102,22 hektar. Logikanya adalah dari mana dasar statement Gubernur Bali yang menyatakan izin yang diajukan tersebut sudah dikaji selama 2 tahun, anak SD saja tahu kalau dari awal PT. Tirta Rahmat bahari mengajukan izin ( 27 April 2011) sampai keluarnya keputusan Gubernur ( 27 juni 2012 ) tidak sampai dua tahun.

Dari tidak diajaknya DPRD Bali sebagai lembaga legislative yang mempunyai fungsi pengawasan dan begitu lancarnya izin yang dikeluarkan oleh Gubernur Bali kepada Investor tentu kita patut bertanya ada apa sebenarnya di Balik semua ini?

b). Yang kedua adalah statement-statement yang diberikan Pemerintah Provinsi Bali yang sering kali berubah-ubah (plin-plan)

Kita dapat membaca sendiri di media massa, pada awalnya kepala dinas kehutanan menyatakan bahwa di wilayah Tahura tersebut tidak akan ada bangunan yang didirikan, investor hanya akan membatu menjaga kebersihan dan kelestarian hutan mangrove di Tahura Ngurah Rai. Tetapi setelah didesak kepala dinas kehutanan menyatakan akan ada pembangunan pesraman/penginapan terapung di kawasan Tahura dan wisatawan yang dapat menginap juga selektif, Percayakah Kita? Tentu tidak! setelah didesak kembali, dinas kehutanan akhirnya mengakui akan ada pembangunan akomodasi pariwisata tetapi tidak akan ada pemotongan Hutan mangrove di kawasan tahura. tetapi dari rencana pemanfaatan yang kami baca dalam lampiran keputusan Gubernur, bahwa di wilayah tahura tersebut akan dibangun 75 penginapan, 8 unit restaurant, 2 spa dan bangunan lain yang menunjang akomodasi pariwisata di kawasan tersebut.

Dari statement bahwa pemerintah provinsi berani menjamin tidak akan ada pemotongan pohon bakau dihutan mangrove dan akan mencabut izin langsung apabila itu dilakukan, percayakah kita? Sekali lagi TIDAK!, kita dapat pelajaran berharga dari pembangunan Jembatan Diatas Perairan (JDP) yang akan menghubungkan Nusa Dua-Ngurah Rai-Benoa, tentu kita masih ingat bahwa proyek yang diagung-agungkan pemerintah tersebut tidak melihat kelestarian lingkungan disekitar, seperti yang kita ketahui bersama pelaksana proyek melakukan tindakan yang melanggar AMDAL yaitu pelaksana proyek dengan alasan percepatan penyelesaian proyek, memilih mengurug air laut dengan batukapur (limestone) dan akibatnya adalah air laut disekitar proyek tercemar dan pohon bakau disekitar mangrove juga mati, selain itu pemanfaatan hutan mangrove untuk pembangunan JDP yang awalnya dalam izin seluas 2.3 hektar tetapi dalam kenyataannya kawasan hutan mangrove yang dimanfaatkan seluas 4.6 hektar patut juga dipertanyakan apakah itu legal apa illegal?.

Pengurugan air laut tersebut sudah terang-benderang melanggar AMDAL dan dapat dijatuhkan sanksi oleh pemerintah sesuai dengan UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, tetapi pemerintah provinsi Bali dalam hal ini yang mempunyai kewenangan Gubernur Bali seakan tidak mau tahu dengan kejadian tersebut, karena sampai saat ini Gubernur Bali diam tak bergeming terhadap pelanggaran AMDAL yang dilakukan oleh pelaksana proyek JDP yang terlihat dengan mata.

Selain hal tersebut yang harus diketahui kalau statement kepala dinas kehutanan yang menyatakan tidak akan ada penebangan hutan bakau, saya katakan hanya sebagai bualan belaka karena, dalam keputusan gubernur terhadap izin yang diberikan kepada PT. Tirta Rahmat Bahari yang saya pelajari, disana terdapat OPSI kepada investor apabila hendak melakukan penebangan pohon bakau investor harus mendapatkan izin dari dinas kehutanan. Jadi logikanya disini investor tetap dapat melakukan penebangan pohon bakau kalau sudah mendapat izin dari dinas kehutanan, kalau sudah begitu siapa lagi yang akan menjamin kelestarian hutan mangrove, mengingat fungsi hutan mangrove yang begitu vital?.

Dari statement pemerintah yang menyatakan bahwa pemerintah provinsi Bali tidak mempunyai dana untuk merawat hutan mangrove hal tersebut dapat dibantahkan karena Gubernur Bali pernah menyatakan bahwa pemerintah Provinsi Bali mempunyai tabungan sebesar kuranglebih Rp. 500 milyar di BPD. Mengapa dengan dana yang ada tersebut pemerintah provinsi tidak langsung merawat hutan mangrove di tahura ngurah rai, mengapa harus menyerahkan kepada investor? Kalau memang pemerintah provinsi ada dana tetapi tidak mempunyai kemampuan untuk merawat hutan mangrove di tahura Ngurah Rai, mengapa pemerintah provinsi tidak memberikan masyarakat desa setempat saja yang mengelola, supaya desa setempat mendapatkan penghasilan dari pengelolaan hutan mangrove, selain itu masyarakat desa juga pasti akan mendapatkan manfaatnya apabila hutan mangrove tersebut diberkan kepada desa.

 c). yang ketiga adalah tuduhan-tuduhan tidak berdasar yang ditujukan kepada Walhi

statement Gubernur Bali yang menuduh Walhi Bali dalam melakukan aksi #savemangrove ada yang menunggangi atau ada yang membayar, kami katakan itu sama sekali tidak benar. Bisa ditanyakan sendiri ke kawan-kawan musisi yang ikut mendukung aksi walhi, apakah benar gerakan walhi ada yang membayar? Walhi sendiri sudah secara terang-terangan menantang Gubernur Bali untuk membuka siapa orang/pihak yang telah membayar walhi untuk melakukan penolakan terhadap pemanfaatan hutan mangrove seperti yang dituduhkan, bahkan kawan-kawan walhi dan juga Kekal siap diaudit keseluruhan oleh Gubernur dan Masyarakat Bali. Kalau teman-teman tidak percaya, silakan datang sendiri kesekretariat walhi dan cek apa saja aset-aset yang walhi dan orang didalamnya miliki. Tetapi kembali kami bertanya apakah pemerintah Provinsi Bali dan Gubernur berani secara terang-terang memberikan informasi tentang apa saja yang dimiliki? Mengapa dalam hal ini Gubernur Bali sepertinya panik dan menuduh Walhi ada yang menunggangi tanpa adanya dasar yang kuat?

Selain hal tersebut, tentang statement Gubernur Bali yang menyatakan bahwa Walhi tidak mengerti dengan permasalahan ini, dan kadar kecintaan lingkungan Gubernur lebih besar. Walhi mengajak Gubernur Bali untuk debat terbuka untuk membicarakan masalah lingkungan di Bali.

Lingkungan di bali semakin hari kualitasnya semakin menurun, yang wajib menjaga bukan hanya walhi saja sebagai LSM lingkungan, tetapi Pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan juga masyrakat Bali juga harus ikut menjaga agar lingkungan di Bali, bukan malah merusak lingkungan hidup di Bali dengan alasan menunjang pariwisata.

Mungkin sekian dulu penjelasan dari kami, kalaupun ada yang kurang jelas mari kita berdiskusi bersama, asal tidak ada saling tuduh, karena kami yakin masyarakat Bali pasti tidak ingin lingkungannya rusak, kecuali ada orang bali yang memang tega menjual Bali kepada investor yang tidak perduli dengan lingkungan di Bali dan hanya mengejar keuntungan semata. Yang harus diingat kembali, alam adalah titipan dari tuhan yang harus kita jaga, untuk anak dan cucu kita nantinya. Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar