Sabtu, 07 Januari 2012

INVESTASI vs PERDA RTRW Provinsi Bali



"Secara prinsip sebuah upaya pembangunan ekonomi yang dilakukan harus memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi dan dirasakan oleh sebagain besar masyarakatnya. Jikalau sebuah upaya pembangunan ekonomi hanyalah mensejahterakan segelintir orang dan merugikan sebagain besar masyarakat walaupun berdampak besar bagi pertumbuhan ekonomi maka upaya itu bukanlah upaya pembangunan ekonomi."

Investasi sebagai upaya pembangunan perekonomian, jikalau hanya menyuburkan dua tiga orang dan menjepit kepentingan masyarakat umum, maka investasi tersebut bukanlah bagian dari upaya pembangunan ekonomi. Sehingga investasi yang semacam itu harus kita tolak dengan setegas-tegasnya. Investasi yang terasing dari lingkaran budaya masyarakat dan meracuni kelestarian alam, atau secara sistematis akan mampu mengancam kebudayaan local masyarakat, maka sungguh tidak bijak merekomendasi bentuk-bentuk investasi seperti itu. Investasi seperti itu tidak lain dan tidak bukan merupakan manipestasi penjajahan.

Investasi yang kita bangun adalah investasi yang berorientasi pada kepentingan masyarakat secara umum atau paling tidak berdampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat sekitar. Dan yang terpenting adalah tidak mengancam kebudayaan yang demikian luhur dari masyarakat local. Hal lain yang juga menjadi rambu bagi kepentingan investasi adalah terjaganya keseimbangan ekologi dan ekosistem alam sekitar. Bukti yang paling segar tentang dampak investasi bagi kerusakan lingkungan adalah meletusnya sumur lumpur Lapindo yang sangat menyengsarakan masyarakat Sidoarjo. Kesengsaraan rakyat Sidoarjo saat ini adalah bentuk kecerobohan investasi. Padahal secara ekonomi barangkali Lapindo belum mampu menyumbangkan peningkatan perekonomian yang signifikan bagi masyarakat Sidoarjo.

Bali sebagai sebuah kepulauan yang sangat kecil, ketika terjadi kesalahan bentuk investasi, maka tidak mustahil kasus Lapindo akan terjadi pada Bali. Sehingga Bali hanyalah dongeng di masa datang. Untuk menghentikan mimpi buruk tersebut, maka pola investasi bagi Bali harus digeser dari investasi eksploitasi fisik kepada investasi jasa yang berorientasi kerakyatan. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa Bali menjanjikan keuntungan bagi investor yang mau berinvestasi, namun seperti yang dikatakan di atas bali hanya sebuah pulau kecil yang mempunyai batas daya tampung untuk pembangunan, selain itu juga alam bali sudah semakin rusak dengan banyaknya alih fungsi lahan dengan alih-alih untuk kepentingan investasi di bidang Pariwisata.

Yang menjadi topik hangat di Bali saat ini adalah adanya keinginan dari segelintir orang yang ingin merevisi Perda RTRWP Bali yang dianggap merugikan bagi investor yang ingin berinvestasi di bali. secara singkat dapat disampaikan bahwa perda RTRWP Bali No 16 Tahun 2009 ini cukup ideal dalam menjaga kelestarian lingkungan di Bali. Keidealan ini tercermin dalam pasal 3 perda RTRW Bali yang secara tegas mendudukan tujuan perda ini adalah untuk mewujudkan ruang wilayah Provinsi Bali yang berkualitas, aman, nyaman, produktif, berjatidiri berbudaya Bali, dan berwawasan lingkungan berlandaskan Tri Hita Karana. Selain itu tujuannya adalah keterpaduan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota dalam rangka perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan dan budaya Bali akibat pemanfaatan ruang. Maka pengaturan radius kesucian pura berdasarkan Bhisama PHDI, ketinggian bangunan serta batas pantai adalah sebuah keniscayaan. Hal ini mengingat Provinsi Bali sebagai gugusan pulau kecil yang patut mendapatkan penanganan khusus dalam penataan ruangnya.

Sampai saat ini Bali masih menyandarkan ekonominya pada dua bidang besar, yakni pertanian dan pariwisata. Sehingga focus penanaman investasi, hendaknya diarahkan secara serius pada dua bidang ini. Pada bidang pertanian, yang meliputi pertanian tanah basah, dan perkebunan. Investasi pada wilayah pertanian tanah basah diperlukan untuk menjaga keseimbangan ekologi Bali sebagai sebuah kepulauan. Penjagaan daerah Bali dari polusi udara dapat diatasi dari terbentangnya sawah-sawah ditengah perkotaan. Sehingga eksistensi tanah persawahan basah menjadi penting ketika difungsikan sekaligus pada dua hal yakni ekonomi dan kepentingan lingkungan. Pemerintah dan swasta hendaknya memberikan dukungan yang positif pada usaha permodalan, pemasaran dan pengolahan pasca panen bagi usaha pertanian. Di wilayah ini sepertinya bagi daerah Bali terabaikan karena dipandang tidak memberikan keuntungan financial yang berarti bagi PAD pemerintah daerah, atau tidak mampu memberikan take on pay yang cepat bagi investasi swasta. Kedepan pemerintah daerah harus mengalokasikan anggaran bagi keberlasungan dunia pertanian terutama tanah basah.

Sektor perkebunan juga melibatkan banyak masyarakat Bali sebagai tumpuan hidupnya. Bahkan ketika sumber mata air semakin kecil, banyak daerah pertanian basah beralih fungsi ke perkebunan. Namun para petani selalu mengalami kerugian dan justru ketika panen raya tiba. Kerugian lebih disebabkan karena permainan harga dari tengkulak. Hampir tidak ada peran pemerintah dalam hal ini. Para petani seperti anak tiri yang terlantar, tak pernah mendapat perhatian dan penanganan dari pemerintah. Pemerintah daerah dan Swasta kebanyakan hanya tebar pesona pada saat berkepentingan. Dengan demikian investasi pengelolaan pasca panen sangat mendesak untuk dilakukan guna menghindari kebangkrutan petani.

Pada dunia pariwisata, Bali sebetulnya merupakan pulau yang komplit akan potensi tourism mulai dari pesona alam, budaya ritual, sampai dengan karya seni dan kerajinan. Penjagaan akan pesona alam, Bali hanya memerlukan konsistensi pemeliharaan, bukan pada perombakan dan pencitraan baru. Sehingga investasi lebih diarahkan pada subsidi bagi kelompok-kelompok penjaga kelestarian tersebut di atas. Investasi pada pembanguan fisik justru akan membuat tata ruang Bali semakin semrawut. Seperti pembangunan restauran-restauran di sepanjang jalan penelokan, membuat pesona penelokan kian kumuh dan semraut. Banyak obyek wisata di Bali yang kian komersiil sehingga taksu kian menjauh.

Budaya ritual masyarakat Bali ternyata merupakan magnet yang terbesar datangnya tamu asing ke Bali. Pelaksaan ritual ini, sangat jauh dari hasil pariwisata. Bahkan dibilang dunia pariwisata tidak pernah menoleh dan berbagi pada sektor ini. Memang ritual masyarakat Bali telah, sedang dan akan terjadi tanpa pernah ambil pusing dengan glamornya dunia pariwisata. Tapi setidaknya sector ini mendapat perhatian dari dunia Pariwisata dalam bentuk yang sewajarnya, tanpa menodai ketulusan sang pelaksana ritual. Karena pada aktifitasnya upacara ritual adalah tontonan pariwisata masal yang dilakukan oleh seluruh masyarakat. Perhatian pada pelaksanaan ritual ini juga berarti investasi yang bernuasa kerakyatan.

Karya seni dan kerajinan belakangan tidak lagi menjadi pilihan hidup yang menjanjikan. Penikmat seni dan kerajinan kian hari kian menjepit para seniman dan pengerajin. Penikmat seni dan kerajinan mulai menggeser diri menjadi calo dan tengkulak barang seni dan kerajinan. Sehingga seniman dan pengrajin kian terhimpit oleh kebutuhan antara hidup dan mati, antara makan dan tidak makan. Ketika kuat dan teguh akan idealisme berkesenian maka pilihan tidak makan menjadi jawaban. Dunia kerajinan lebih parah lagi, hampir para pengrajin hanyalah pekerja rodi untuk sesuap nasi.

Perda RTRW Propinsi Bali No. 16 tahun 2009, secara singkat dapat disampaikan sebagai sebuah regulasi yang cukup ideal dalam menjaga kelestarian lingkungan dan juga investasi di Bali. Setidaknya ditengah Perda ini dapat menjadi standar minimum dalam menjaga kelangsungan ekologi dan fungsi ekologis terkait dengan pemanfaatan ruang di Pulau Bali. Terkait dengan hal tersebut dapat dirujuk pada Pasal 3 perda RTRWP Bali, secara tegas mendudukan tujuan perda ini adalah untuk mewujudkan ruang wilayah Provinsi Bali yang berkualitas, aman, nyaman, produktif, berjatidiri berbudaya Bali, dan berwawasan lingkungan berlandaskan Tri Hita Karana. Sekaligus untuk keterpaduan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota dalam rangka perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan dan budaya Bali akibat pemanfaatan ruang. Dari hal tersebut diatas termanifestasikan dalam 3 (tiga) elemen pokok ketentuan yang mendasar yaitu; pengaturan kawasan tempat suci berdasarkan Bhisama PHDI, ketentuan ketinggian bangunan serta batas/sempadan pantai.


Di Bali saat ini laju pembangunan untuk kepentingan investasi sangat tinggi hal ini dapat berdampak negatif pada lingkungan di Bali seperti Penyusutan lahan pertanian akibat alih fungsi, laju investasi akomodasi pariwisata yang bersifat eksploitatif, lalu eksploitasi sumberdaya alam lainnya seperti air, energy adalah fakta-fakta negatif dari perkembangan industry pariwisata. Dengan di tegakkannya perda RTRWP Bali No. 16 Tahun 2009 diharapkan dapat lebih secara bagus mengatur tentang pemanfaatan ruang di Bali yang nantinya akan dapat menjaga Bali sebagai daerah tujuan pariwisata yang nantinya juga akan berimbas kepada investasi yang terjadi di Bali.

Segelintir Orang mengatakan dengan ditegakkannya Perda No.16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi Bali akan merugikan para investor yang berinvestasi di Bali, dimana para investor tidak dapat secara leluasa untuk menanamkan investasi di Bali karena adanya perda tersebut. Padahal kenyataannya perda RTRWP itu di bentuk juga untuk mengakomodir investasi di Bali yaitu dengan adanya penataan ruang yang lebih baik agar sumber daya alam yang terjadi di bali tidak rusak dan bisa dijaga sehingga bali tetap diminati oleh para investor demi pembangunan yang berkelanjutan di bali. Dengan kata lain dengan ditegakkannya Perda RTRW Provinsi Bali tersebut tidak akan merugikan investor yang ingin berinvestasi di Bali.

Melihat permasalahan itu maka bentuk investasi bagi Bali pada dunia pariwisata, adalah investasi yang menyentuh problema masyarakat secara umum. Dunia pariwisata memiliki dampak yang demikian besar bagi perekonomian Bali adalah ; pertama,investasi pada upaya pelestarian bagi obyek wisata yang sudah ada. Upaya realnya adalah memantapkan manajemen pengelolaan obyek wisata sehingga kelestarian alamnya menjadi prioritas terpenting. Obyek wisata tidak sepantasnya menjadi sapi perahan untuk peningkatan Pendapatan Asli Daerah, sehingga perhatian terhadap pelestarian alam obyek tersebut terpinggirkan. Sebuah obyek wisata hendaknya mampu menghidupi diri sendiri, baik untuk pelestarian alam dan lingkungan maupun operasional manajemen. Dan bahkan nantinya obyek wisata mampu menjadi badan usaha yang professional, mampu mensejahterakan masyarakat sekitar dan daerah.

Kedua, investasi pada budaya ritual, bagi pendulang dolarnya pariwisata hendaknya memiliki panggilan jiwa untuk ikut mendukung pelestarian dan penjagaan kesucian tempat-tempat diberlangsungkannya upacara ritual ini. Malah yang sering terjadi adalah usaha pariwisata mengganggu pelaksanaan ritual tersebut. Contoh nyata adalah kengototan investor membangun fasilitas pariwisata di wilayah tempat-tempat dilangsungkannya upacara ritual, atas alasan tempatnya strategis. Sehingga yang ada pariwisata malah menodai kekhusukan pelaksanaan ritual keagamaan. Ke depan hal ini harus ditolak.

Ketiga, investasi bagi peningkatan produktifitas hasil seni dan kerajinan sangat penting untuk dilakukan. Menimbang kian hari para penggelut seni baik seni rupa, kriya mapun tari dan tabuh kian meningkat sehingga diharapkan nantinya bisa menarik minat wisatawan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar